Cerita di Kampung Pinggiran
Tak terbayangkan sebelumnya bahwa aku dan keluargaku akan tinggal dikampung. Kampung yang terletak didaerah pinggiran. Dimana segala fasilitas serba sulit. Aku harus jalan kaki dan naik angkot dua kali untuk mencapai sekolah baruku. Tak seperti ketika aku tinggal didaerak perkotaan. Aku hanya menunggu Bus Sekolah saja untuk berangkat ke sekolah. Namun dikampung inilah aku menemukan arti kehidupan yang sesungguhnya. Arti pentingnya berbagi dengan sesama. Dikampung ini puala menyimpan banya cerita kehidupan yang menggetirkan.
Belum genap satu tahun aku tinggal di sini, aku sudah mendengar atau melihat puluhan kisah sedih orang-orang disini. Pernah seorang wanita nekat bunuh diri dari menara antena radio setempat. Pasalnya, si wanita tak punya uang untuk membayar uang bulanan sekolah anak-anaknya yang sudah enam bulan belum dibayar.
Pada waktu lainnya aku mendenar pula ada seorang anak SMP yang hamil karena dihamili oleh Pamannya sendiri, hanya demi mendapatkan uang jajan. Karena orang tua si anak tak pernah memberikan uang jajan. Pada hari lainnya, terjadi kegegeran ketika seorang Bapak-bapak ditemukan sedang sekarat karena terjatuh dari angkutan umum ketika turun sehabis jualan didalam angkutan tersebut. Masih banyak bula kejadian dan kasus dramatis lainnya, termasuk kasus Pak Mijan yang sakit terkena Radang Paru-paru dan ditolak Rumah sakit karena tak punya biaaya.
Suatu kejadian yang masih jelas kuingat adalah yang melibatkan keluargaku. Aku masih dapat membayangkan, hari itu menjelang Isyha ketika aku habis membaca Al-Qur’an, datang tetanggaku, Mang Badri. Dia datang dengan nafas terengah-engah seperti habis lari maraton Jakarta-Bandung.
“Kang Mahmud…?!” Sapanya pada ayahku sambil berusaha mengatur nafasnya.
“Ada apa, Mang Badri?? Kok keliatannya buru-buru, gitu???” Tanya ayahku pada Mang Badri.
“Kang. Tolong saya, Kang!!” Ujar Mang Badri.
“Tolong naon, Mang??” tanya ayahku bingung.
“Ada tetangga saya yang butuh bantuan, Kang. Dia sakit. Sudah tiga hari ini badannya panas dan tidak turun-turun juga. Sedangkan dia nggak punya uang untuk berobat ke dokter begitu pula denangan saya.”
“Lantas apa yang bisa saya bantu, Mang??”
“Tolong antarkan ke Rumah Sakit. Uangnya dari Kang Mahmud dulu nanti kalo saya punya uang saya ganti.”
“Tapi sebentar lagi azan isyha.” Ujar ayahku.
“Kita bisa shalat di Rumah Sakit nanti.”
“Baiklah kalau begitu. Saya ambil mobil dulu.” Ujar ayahku dan langsung masuk kearah garasi mobil.
“Qori, kamu ikit ayah, yah????” Ajak ayahku.
“Baik, Yah!” Jawabku yang langsung mengenakan jilbab.
Selama perjalanan menuju rumah si sakit, Mang Badri menceritakan bahwa tetangganya itu sudah dibawa kedukun untuk diobati.
“Kemarin, dia sudah dibawa kedukun. Dan dukun hanya memijat-mijatnya saja, tapi tetap panasnya tidak turun-turun juga. Dan keluarga si sakit karena tak punya uang untuk berobat jadi di biyarkan saja. Untung saya mengetauinya dan langsung buru-buru minta tolong pada, Kang Mahmud.” Tuturnya.
Dengan mengendarai mobil ayahku yang sudah tua, kami berangkat ke Rumah Sakit. Semula istri si sakit tak mau suaminya di bawa ke Rumah Sakit karena ingin menunggu anaknya yang bekerja sebagai kuli bangunan datang. Tapi atas bujukan Mang Badri dan para tetangga lainya, ahkirnya istri si sakitpun setuju juga.
Tiba di tempat tujuan, kami semua membawa si sakit ke ruang perawatan untuk segera ditangani oleh dokter di ikuti istri si sakit. Sementara si sakit sedang di tangani oleh dokter, aku, ayahku dan Mang Badri melaksanakan shalat isyha. Setelah shalat isyah kami mendapati si sakit terbaring di ruangan lain. Istri si sakit terisak di sisinya.
“Pasien ini harus segera di operasi,” kata dokter.
“Kita tunggu Parman dulu,” kata istri si sakit. Parman adalah nama anaknya. Karena keadaan yang mendesak akhirnya seseorang diutus untuk balik ke kampung, untuk melihat apakah Parman sudah sampai di rumah, untuk memberitaukan keadaan bapaknya. Tak lama kemudian seorang laki-laki paruh baya masuk bersama orang yang tadi di utus untuk menjemput anak si sakit. Seperti dugaanku sebelumnya kalau laki-laki paruh baya itu adalah Parman anak si sakit.
Ayahku mencoba memeriksa keadaan si sakit. Aku liahat raut muka ayahku berubah. Jantungku berdetak lebih cepat. Aku hawatir kalau-kalau dugaanku benar soal si sakit. Aku hawatir si sakit itu tak lagi bernafas dan jantungnya berhenti berdetak. Parman. Anak si sakit berkaras ingin membawa pulang ayahnya. Mungkin karena penasaran ayahku menghampiri dokter dan menayakan keadaan si sakit.
Sayup-sayup aku dengar percakapan dokter dengan ayahku.
“Masih hidup, meskipun kondisinya sangatlah lemah, makanya pasien harus segera di operasi;” jawab sang dokter.
Malam itu juga setelah anaknya menyetujui ayahnya untuk dioperasi. Dokterpun mulai mempersiapkan ruang operasi.
Kulihat raut wajah istri dan anak si sakit menggambarkan kecemasan yang luar biasa.
“Marilah kita berdoa semoga operasinya berjalan lancar.” Ujar ayahku menenangkan semuanya.
Kami berdoa dengan khusyu.
Ada perasaan aneh yang menjalari hatiku ketika aku terlibat untuk meringankan penderitaan orang-orang miskin ini, seperti malam ini. Meskipun tak secara langsung aku terlibat tapi tak pernah aku merasakan hal yang sedemikian. Sulit aku ungkapkan perasaan apa itu tapi aku merasakan kebahagian yang belum pernah aku rasakan kebahagiaan seperti ini, kebahagiaan bercampur kedamain. Kuakui perasaan ini sesunggungnya tanpa bermaksud menjadi orang sok baik atau semacamnya. Malahan aku merasa terlambat melakukan hal semacam ini. Dulu aku hanya mementingkan diri sendiri saja tanpa peduli dengan keadaan sekitaku. Kadang kala aku malu pada jilbab yang aku pakai semenjak SMP ini. Aku baru sadar bahwa meringankan penderitaan orang-orang miskin itu mendatangkan kebahagiaan meskipun itu tak berarti aku tak pernah menolong orang-orang yang kekurangan.
“Yah. Apakah orang itu baik-baik saja??” Tanyaku pada ayah yang baru selesai berdoa.
“Kita berdoa saja semoga dia baik-baik saja dan operasinya berjalan dengan lancar,” jawab ayahku sambil membenahi posisi duduknya.
Aku lihat Parman sedang memeluk ibunya yang sejak tadi menangis dipangkuannya. Mang Badri duduk di samping ayahku sambil sesekali berdiri dan berjalan mondar-mandir menandakan kecemasannya.
“Aku kenal dia sudah lama,” ucapnya sepontan.
“Siapa, Mang??” Tanyaku ikit campur dan sok tau.
“Yang sakit itu,” jawabnya ringan.
Aku hanya menganggukan kepala dan kembali diam.
Aku merasa operasinya sangatlah lama, kecemasanku semakin bertambah. Ingin rasanya aku berada didalam ruang operasi itu dan mengetahui apa yang sedang terjadi dengan si sakit itu.
Akhirnya setelah hampir dua jam kami semua menunggu didepan ruang operasi dan lampu yang berada diruang operasi berubah warna yang semula merah menjadi hijau dan diiringi pula munculnya dokter dari ruang operasi. Kontan kami semua menghampiri dokter itu untuk menanyakan keadaan si sakit..
“Dok! Bagaimana ke adaanya?” Tanya ayahku yang duduk paling dekat dengan pintu ruang operasi.
Raut muka sang dokter berubah. Dia menundukan kepala. Seraya berkata.
“Maaf, kami sudah berusaha!” Ucapnya lirih.
Kami tau arti dari perkataan dokter tadi. Kontan istri si sakit langsung histeris dipelikan anaknya. Mang Badri langsung terduduk lemes di kursi tunggu. Ayahku hanya mengusap mukanya dengan tampang yang tak pernah aku lihat sebelumnya. Sedangkan aku hanya bengong tak mampu berkata apapun mendengar berita itu. Perlahan aku rasakan air mata keluar membasahi pipiku.
“Sabar, yah, Bu!” Ucap ayahku pada istri si sakit. “Saya turut berduka cita,” lanjutnya.
Akhirnya kami membawa pulang jasad si sakit kembali kerumahnya untuk di semayamkan.
Sekali lagi mobil tua ayahku menjadi saksi bisu penderitaan si akit yang miskin yang kini telah menjadi mayat, ketika saat-saat terahirnya. Dalam mobil istri si mayat terus menangisi disisi jasad suaminya yang kini terbujur kaku.
Besoknya rumah si mati telah ramai di datanggi para tetangga dan sanak saudaranya. Akupun memutuskan datang melayat setelah pulang sekolah, kebetulan hari ini sekolahku tak belajar penuh karena guru-guru sedang rapat penting. Aku sungguh kagum dengan para warga di kampung ini meski mereka hidup kekurangan dan serba pas-pasan namun rasa solodaritas mereka terhadap tetangga sungguh membuatku terharu. Walaupun mereka menyumbang alakadarnya saja tapi itu sungguh menggugah hatiku. Jujur suasana seperti ini tak pernah aku lihat di kota. Dikota orang-orangnya hanya mementingkan diri sendiri, bahkan mereka kadang tak saling kenal dengan tetangga mereka sendiri.
Dari orang-orang yang melayat aku baru tau kalo nama si mati adalah Sarmin. Tiga hari sebelu sakit beliau baru saja berhenti dari pekerjaannya sebagai tukang beca setelah selama 20 tahun menjadi tukang beca. Beliau berhenti karena anaknya, Parman mendapat pekerjaan sebagai kuli banggunan dikota. Namun tak disangka setelah bebarapa hari berhenti, beliau mengalami sakit. Badannya panas dan tak mau kunjung reda panasnya hingga akhirnya Mang Badri yang semula hendak meminjam kapak ke Mang Sarmin berinisitif untuk mengajaknya ke Rumah Sakit.
Menurut dokter kemaren, Mang Sarmin menderita Papu-paru akut. Beliau sebenarnya sudah lama menderita sakit itu tapi tak pernah di rasakannya karena sibuk menjadi tukang beca demi mengumpulkan uang tuk keluarga dan demi sesuap nasi.
0 Response to "Cerita di Kampung Pinggiran"
Posting Komentar